***
Hari ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki ke kampus lagi di
semester yang baru, setelah sempat mengambil cuti beberapa waktu yang
lalu. Universitas Pendidikan Indonesia, kota Bandung.
Tepat pk 13.00 saya memasuki ruang kelas dan menyimak materi mengenai
Bisnis Internasional. Saat itu saya ngantuk sekali. Benar-benarme
ngantuk. Kebetulan cuaca sedang mendung, rasa mengantuk pun semakin tak
tertahankan. Maka tepat pk 15.00 saat kelas selesai, saya bertekad untuk
langsung pulang, menunaikan shalat ashar, kemudian mengistirahatkan
diri.
Tapi Allah berkehendak lain. Baru selangkah saya keluar kelas,
tiba-tiba hujan turun sangat deras, tanpa gerimis sebelumnya. Mata saya
sudah mengatup-ngatup tak tertahankan. Saya terobos saja hujan itu
dengan harapan bisa semakin reda. Tapi kenyataannya malah sebaliknya.
Saya menyerah. Saya harus berteduh karena saya tidak membawa payung.
Saya arahkan langkah saya menuju masjid di kampus saya, Masjid Al
Furqon. Saya mengambil wudhu, kemudian shalat berjamaah. Tidak ada yang
aneh. Semua biasa-biasa saja.
Tepat ketika saya mengangkat kepala dari sujud terakhir saya,
tergambar bayangan keranda jenazah dari balik hijab yang membatasi area
shalat perempuan dan laki-laki. Tapi saya abaikan, saat itu saya masih
sangat mengantuk, sulit untuk berpikir ataupun fokus. Lagipula, orang
meninggal yang dishalatkan di masjid Al Furqon itu sudah biasa.
Setelah salam terakhir, imam shalat jamaah ashar meminta para jamaah
yang berkenan untuk menyalatkan jenazah. Disebutkan jenazah tersebut
bernama EA (inisial). Saya pun tidak kenal siapa almarhum. Kemudian saya
bersama dengan jamaah yang lain menunaikan shalat jenazah.
Setelah shalat jenazah usai ditunaikan, saya yang masih dalam kondisi
mengantuk namun terjebak hujan sehingga tidak bisa pulang pun akhirnya
tetap terduduk di dalam masjid. Di sinilah awal mula saya merasa
tertampar.
Imam shalat mengambil microphone dan beliau berkata, “Di
sini sudah ada pembantu rektor Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Ketua Jurusan Geografi.
Sebelum kita melepas kepergian almarhum, mari kita mendengarkan
pemaparan kronologis kematian, riwayat hidup almarhum, dan ditutup oleh
doa.”
Keadaan itu mulai menarik perhatian saya. Siapa sebetulnya jenazah
itu? Kenapa para petinggi kampus harus menyampaikan pemaparan kronologis
kematian? Lalu kenapa jenazah mahasiswa kok dishalatkan di masjid
kampus? Ada apa sebetulnya?
Dipanggil lah bapak pembantu rektor III yang kemudian mengambil alih microphone.
Beliau berkata, “Almarhum adalah salah satu mahasiswa jurusan Geografi
angkatan 2010, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahua Sosial, Universitas
Pendidikan Indonesia.”
Saat itu saya mulai mengerti kenapa ada perwakilan-perwakilan kampus.
Tapi saya masih belum paham, kenapa harus sampai mengundang para
petinggi. Karena penasaran, saya fokus menyimak.
“Berikut pemaparan kronologis kematian almarhum. Almarhum
adalah korban kecelakaan lalu lintas. Tepatnya ketika almarhum
mengendarai motor hendak kuliah menuju kampus. Sebuah kondisi yang tidak
terduga di jalan raya, almarhum terlindas truk tangki besar yang
membawa minyak, mengalami pendarahan luar biasa tepat di kepala, dan
meninggal seketika.”
Rasa kantuk saya tiba-tiba hilang. Tidak menyangka bahwa jenazah yang
saya shalatkan itu korban kecelakaan tragis di jalan raya. Saya
mendadak merinding sebab tak sengaja memvisualisasikan kejadian yang
bapak pembantu rektor deskripsikan tadi. Inalillahi..
Bapak pembantu rektor mengalihkan microphone kepada ketua
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Pada giliran beliau ini
beliau dipersilakan untuk membacakan riwayat hidup almarhum.
“Almarhum bernama EA (inisial), mahasiswa jurusan Geologi
angkatan 2010. Bertempat tinggal di daerah Cianjur. Merupakan salah
satu mahasiswa yang baik. Sekian riwayat hidup almarhum.”
Mungkin bagi kebanyakan orang saat mendengarkan pemaparan barusan
itu, tidak ada makna yang luar biasa. Tapi saya, setelah mendengar
riwayat hidup yang demikian, saya ber-muhasabbah sangat dalam.
Saya bertanya-tanya. Kenapa sangat singkat riwayat hidupnya? Kenapa tidak ada pencapaian-pencapaian yang diutarakan?
Seketika saya menundukkan kepala, menelusuri kisah kehidupan saya
mulai masa lampau hingga saat ini. Adakah riwayat hidup kematian saya
kelak akan dibacakan sesingkat itu? Adakah yang bisa dibanggakan sebagai
karya yang tetap terkenang meski raga sudah menghilang? Adakah manfaat
yang sudah saya tebarkan hingga saat ini? Sungguh tiba-tiba saya
diliputi muhasabbah diri sangat dalam.
***
Siapa yang tahu kapan giliran kita dipanggil ‘pulang’ oleh-Nya. Allah
sangat mungkin memanggil kita pulang tanpa peringatan. Contoh nyata di
hadapan saya, ya kecelakaan lalu lintas ini. Apa pernah almarhum
berpikir bahwa dia akan menghadap Allah pada saat dia sedang melakukan
perjalanan berangkat ke kampus seperti yang biasanya ia lakukan? Saya
yakin tidak. Tapi ya itulah.. Allah memanggil hamba-Nya pulang, tanpa
peringatan.
Saya sungguh sangat penasaran. Saya buka akun twitter official kampus saya yang sangat update berita-berita terbaru tentang kampus. Betul saja, berita tentang kematian almarhum sudah di publish beserta kronologisnya.
Salah satu twit menyita perhatian saya, sebab twit tersebut melakukan mention pada akun twitter pribadi almarhum. Saya klik, dan saya stalking timeline-nya.
Twit terakhir dari akun twitter pribadi almarhum di update pada pagi hari ini. Saya penasaran dan saya scroll-scroll ke
bawah. Ternyata saya menemukan banyak sekali percakapan sia-sia, dengan
kata-kata yang kurang baik dan kurang sopan. Saya mengecek avatar
twitternya pun berupa gambar orang sedang mengacungkan jari tengahnya,
simbol perendahan. Sama sekali tidak menggambarkan kebaikan.
Seketika saya ber-muhasabbah lagi. Betul-betul kita tidak
pernah tahu kapan giliran kita. Maka adalah benar bahwa kita harus
senantiasa berucap, bertindak, beramal, dalam kebaikan, sesuai dengan
yang Allah perintahkan. Sebab bila ternyata tiba waktu kita dipanggil
pulang, jejak-jejak kehidupan terakhir kita sangat sangat menggambarkan
siapa diri kita.
Saya merenung hingga meneteskan air mata. Allah memberikan
pembelajaran hebat pada saya sore ini. Kisah nyata di hadapan saya.
Kisah nyata yang memberikan gambaran sederhana tentang betapa singkatnya
kehidupan dan betapa tiada gunanya menghabiskan waktu dengan alasan
“Mumpung masih muda..” Usia tidak ada yang tahu. Cara meninggalnya pun
kita tidak tahu. Bisa jadi saat kita sedang sangat tidak siap, kita
dipanggil pulang tanpa peringatan.
***
Ternyata hujan sore ini, tergeraknya hati saya untuk berteduh dan
melangkahkan kaki menuju masjid, semuanya sudah di desain Allah untuk
memberikan pelajaran hebat. Pelajaran tentang mempersiapkan sebuah
kepulangan yang bisa jadi dilakukan tanpa peringatan.
Betul-betul tak ada pilihan lan selain mengisi detik demi detik
kehidupan kita dengan kebaikan dan penebaran kebermanfaatan. Tidak ada
pilihan. Dipastikan sombong orang yang berleha-leha menunda kebaikan.
Siapa tahu tak lama lagi, malaikat maut tengah menantikan kita di
penghujung usia yang kita tidak sadari tengah siap-siap mencapai akhir.
Kejadian sore hari ini semakin menguatkan saya untuk semakin mantap
melangkah meningkatkan kualitas diri dan keimanan di hadapan Allah. Saya
tau setiap manusia adalah tempatnya khilaf dan dosa, tapi ampunan Allah
sangatlah luas. Saya bertekad meraih ampunan serta keridhoan-Nya, sebab
saya sadar bahwa saya tidak akan pernah sanggup menemui-Nya, dalam
kondisi lalai kepada-Nya, menyia-nyiakan anugerah kehidupan dari-Nya.
Sumber :
http://febriantialmeera.com/bersiap-pulang-tanpa-peringatan/